Kau mungkin bertanya-tanya, temanku.. kenapa saya selalu memandangimu diam-diam, begitu mencurigakan dan tidak sepantasnya.
Saya akan mengatakan padamu hanya dalam hati, bahwa saya selalu penasaran tentangmu. . .
Saya ingin tahu, bagaimana rasanya menjadi yang didamba?
Saya ingin tahu, bagaimana rasanya memiliki segalanya?
Saya ingin tahu bagaimana rasanya tak pernah kekurangan..
Biar tak melulu saya mengais keadilan, biar tak selamanya saya disisihkan.
Padahal kita berteman, kenapa kamu punya semua dan tak tersisa untuk saya? Tidak sadarkah kamu, saya selalu ingin menjadi kamu? Kamu yang selalu dipuja, kamu yang terlanjur kaya, kamu yang tak pernah mengeluh karena tak punya sesuatu..
Meski sayangnya, kamu yang tak pernah mengeluh karena tak punya sesuatu itu, justru selalu mengeluh karena tak pernah puas. Dan itu membuat saya semakin penasaran, apalagi yang kamu inginkan?
Kau mungkin bertanya-tanya, temanku.. kenapa terkadang saya begitu membenci kamu..
Karena saya selalu ingin tahu rasanya tak pernah merasa cukup dengan kekuasaan. Saya selalu ingin tahu rasanya tak puas dengan keadaan. Saya selalu ingin tahu rasanya menjadi kamu..
Bagaimana rasanya diinginkan, tanpa pernah tahu rasanya berharap.. Menggenggam seluruh isi dunia, dan jadi tak tahu caranya berusaha.. Dilimpahi keberuntungan, tapi lupa makna kepuasan. . .
Lupa makna kepuasan...
Itukah sebabnya kamu tak pernah puas menjadi yang tercantik? Itukah alasan hatimu tak pernah merasa tercukupi hanya dengan menjadi yang paling dicari? Itukah sebabnya kamu tak pernah puas memiliki cinta lebih dari satu?
Karena nyatanya, mata cantikmu tak pernah berhenti mengerling kepada mereka yang mudah menjadi buta. Dan senyum hangatmu yang penuh rahasia tak pernah hilang dari wajahmu yang begitu sempurna dimata mereka yang terlanjur buta.
Dan sampai di sini, saya malah makin penasaran, jangan-jangan kamu memang kekurangan cinta?
Bukan cinta dari yang berbeda. Bukan cinta dari yang dipercaya. Ataupun cinta dari yang pahamnya sama.. Tapi cinta dari yang wajib membimbing. Cinta dari yang harus dihornati.
Akui saja, temanku.. Bahwa dunia memang bukan milikmu. Akui saja bahwa kamu menemukan garis batas keserakahanmu. Akui saja sebelum kamu terluka. Akui saja sebelum saya jengah berteman denganmu.
* * *
Haha, lucu memang, membicarakan teman sendiri di balik layar. Tapi teman saya yang satu itu begitu pantas dibicarakan. Dan pembicaraan ini bukan bermakna penghujatan. Ini hanya sebuah pembahasan yang sambil lalu, selayaknya pembicaraan kala sore sambil menghirup teh atau kopi di serambi belakang.
Jadi, teman saya yang satu itu sepertinya telah mengetahui diskusi belakang punggung tentang dirinya. Sehingga, jika dia merencanakan perang kasat mata untuk membasmi saya dengan halus, saya tak akan tahu. Bahkan jika dia bersemayam di balik kekuasaan sebuah kecantikan untuk menguasai seluruh cinta di bumi dan mengubahnya jadi benci pun, saya juga takkan tahu... Yang saya tahu, jika dia memiliki ketulusan, dia tak akan terluka oleh kecantikannya sendiri. Hey, jangan kau kira saya tidak peduli padanya. Walau setulusnya, dia membenci saya.
Tapi masih kurang saya pahami kenapa dia memberikan saya harapan hidup dan alasan untuk berharap hidup. Yang saya pahami, jika dia berkuasa dengan sedikit saja integritas, dia tak perlu sekarat termakan ambisi.
Saya sadar, ini hanya sebuah cerita musiman. Yang artinya, ekspedisinya hanya akan menghadirkan cerita ketika ambisi itu bersemi untuk beberapa pekan, hingga kisah itu akan benar-benar membuat seseorang gersang akibat frustrasi. Lalu akan berguguran dengan mudah di beberapa pekan selanjutnya, hingga dingin wajahnya akan membekukan hati siapapun yang terlibat dalam ekspedisi ini. Tapi tetap saja, legenda tentang teman saya yang nyaris menguasai dunia, harus disampaikan.
* * *
Dan akhirnya, pembicaraan panjang tentang teman saya yang nyaris menguasai dunia itu, mengantarkan ide saya kepada sebuah epilog rancu . . .
“Hanya dibutuhkan seorang pangeran kodok yang bijaksana untuk menghangatkan hati sang ratu es. Tapi pangeran tertampan dari seluruh negeri sudah terlanjur penasaran untuk tidak mencoba. Sehingga hiruk pikuk sayembara aneh itu sampai harus memakan korban. Terutama, rakyat jelata yang selalu ingin berontak – tapi terlalu takut, seperti saya. Saya yang sebetulnya membenci dia. Saya yang – lucunya – berteman dengannya.”
Sepak terjang kehidupan teman saya yang aneh telah menghadirkan sebuah inspirasi aneh, yang saya peras sehingga menghasilkan sebuah prosa aneh, yang pastinya akan diinterpretasikan dengan lebih aneh lagi.
J
Yogyakarta, pertengahan Agustus 2010.
puisinya bagus.. aku suka puisi kamu.. mapir ke blog aq ya..ardana!!
BalasHapus