“Kenapa aku BARU menyadari kalau otoritas orang tua bisa jadi sangat mengerikan?”
Pertanyaan sekaligus pernyataan itu muncul begitu saja di kepalaku hari itu...
Semua berawal saat detik-detik menjelang ujian nasional mulai mendekat. Saat itu semua perguruan tinggi mulai membuka penerimaan mahasiswa baru, dan momen itu disambut siswa-siswa senior SMA dengan penuh antusias. Dan selayaknya seorang siswa yang mempunyai impian dan rencana masa depan, tentu saja aku juga ikut menyibukkan diri dengan mendaftar berbagai jalur masuk penerimaan mahasiswa baru di berbagai universitas.
Saat itu aku menyadari, jalanku menuju dunia kuliah tidak akan mudah. Bukan masalah dana kuliah, karena orang tuaku terbilang mampu. Bukan juga masalah minat melanjutkan sekolah, karena aku suka sekolah... Tapi masalah penentuan pilihan. Aku tahu proses pemilihan jurusan itu akan jadi proses yang paling menyakitkan diantara proses kehidupanku yang lain. Dalam hidupku, setiap kali aku dihadapkan pada titik dimana aku harus memilih, aku akan selalu tersakiti. Aku tidak pernah membuat pilihan dalam hidupku. Itu semua karena seseorang. Seseorang itu adalah orang yang adikuasa dan bisa menentukan segalanya untukku. Hanya satu orang, dan dia bukan Tuhan. Tapi kekuasaannya bisa sangat mengerdilkan.
Anyway, jika kalian ingin tahu apa saja pilihanku di perguruan tinggi, aku tidak pernah keberatan memberi tahu kalian (tentu saja dengan harapan, semoga kalian mau ikut mendoakan semoga aku diterima di tempat-tempat itu). Di UGM, aku memilih Sastra Jepang dan Bahasa Korea. Di UniBra aku memilih Sastra Jepang. Dan di UNY aku mengambil teknik busana (yang terakhir ini bukan pilihanku sama sekali. Ini pilihan ayahku). Sekedar informasi, aku sangat suka bahasa asing, terutama bahasa Jepang. Aku rasa aku jatuh cinta. Dan terobsesi...
Tapi dengan kesadaran penuh yang selalu berusaha kuenyahkan, aku tahu aku pasti akan melepaskan cinta tulusku itu.
Kenapa? Don’t ask! You know exactly the answer… It’s HIM, you know…it’s my father.
* * *
Sembilan April Dua ribu sepuluh, aku diterima di Brawijaya.
Oke, bagaimana aku harus mengatakannya dengan benar?
AKU DITERIMA DI Brawijaya !!!!!
OhMiGod! rasanya... Sangat sangat sangat senang! Aku nyaris melompat kegirangan di dalam bilik internetku. Satu jalanku telah dipermudah Tuhan, dan aku sangat bersyukur.
Aku ingat, aku pernah berjanji pada sahabatku (sekaligus seseorang yang kuanggap kakak), bahwa aku akan mentraktirnya jika aku berhasil diterima di suatu universitas. Jadi aku segera menelponnya.
“Onii-san*… aku diterima di Brawijaya!!” (*panggilan untuk kakak laki-laki). Aku berbicara padanya sambil terus tersenyum. Aku merasa senang bisa membuat seseorang bangga pada prestasiku.
Tapi aku sangat sadar, masih ada satu jalan yang harus kubuka sendiri pintunya, dan Tuhan tidak bisa turun tangan langsung dalam hal itu; memberi tahu orang tuaku. Tuhan hanya bisa melancarkan bicaraku, tapi tetap saja harus AKU yang bicara.
. . .
“Baguslah kalau kamu diterima. Selamat.”
Mulutku nyaris menganga sampai ngiler demi mendengar jawabannya. Apakah itu artinya dia mendukungku? Apakah dia akan membiarkanku kuliah di Brawijaya jurusan Sastra Jepang? Atau… aku tidak berani berspekulasi.
Saat aku kembali dari dunia awang-awang, dia sudah berbicara di telepon.
“Halo, Pakde… Baik… Ini lho, anak saya diterima di Brawijaya, Sastra Jepang. Iya… ah, saya juga tahu itu. Apa yang bisa dilakukan orang lulusan sastra jepang, ya kan? Tapi dia sangat ngeyel. Coba, Pakde bicara sendiri dengan anaknya…”
Lalu dia mengulurkan HPnya kepadaku sambil berkata, “aku menelepon pakdemu yang di Jakarta. Dia mau bicara sama kamu.”
Uhm, sekedar pemberitahuan, pakdeku itu adalah kakak sepupu dari bapakku. Dia seorang mantan dosen di Universitas Negeri Jakarta dan sekarang dia sudah menjadi pembantu rektor. Jadi apa yang akan dia bicarakan, tentu saja kalian sudah bisa menebak; dia akan mencoba menggoyahkan pendirianku.
“Halo, Pakde…” dengan gamang aku menerimanya.
“Apa alasan kamu memilih sastra Jepang, Nak?” tembaknya langsung. Meski ramah, tapi sangat menusuk.
“Minat saya di bidang bahasa. Bakat saya juga di situ. Dan apakah pakde akan menyalahkan orang yang ‘jatuh cinta’?,” jawabku agak gemetar, sambil menekankan kalimat terakhir.
“Yaah… tapi lapangan kerja untuk sastra Jepang itu tidak begitu luas, Nak.”
“Lalu saya harus bagaimana? Saya sudah diterima di jurusan itu, dan ujian masuk di universitas lain pun saya juga memilih jurusan yang sama. Lagipula saya punya planning, Pakde. Saya tidak mungkin memilih jurusan kuliah tanpa tahu saya mau jadi apa nantinya.”
Singkat kata, telepon ditutup tanpa ada pihak yang merasa puas. Bapakku tidak puas karena pakdeku kurang menekanku, dan aku sendiri tidak puas karena aku kecewa pada bapakku yang sampai harus meminta orang lain untuk membatalkan niatku.
* * *
Lima belas April Dua ribu sepuluh. Dua hari sebelum pengumuman hasil seleksi ujian masuk UGM, sekaligus sehari sebelum aku melakukan verivikasi untuk pendaftaran ujian masuk UNY.
Pagi sebelum berangkat sekolah, tiba-tiba bapakku berkata, “kamu, usahakan supaya diterima di UNY! Kita batalkan saja penerimaanmu di Brawijaya.”
“Kenapa?” tanyaku cemas. Aku tahu pernyataan itu pasti akan keluar dari mulutnya. Tapi kenapa?
“Pokoknya tinggalkan saja. Aku punya alasan, tapi kujelaskan nanti. Sekarang bukan waktunya bertengkar.”
Dan aku berangkat sekolah tanpa semangat hidup. Dalam pikiranku, kata-kata bapakku terus berputar-putar memusingkan seperti pergerakan elektron bebas dalam sebuah partikel. Sepanjang perjalanan, aku terus-terusan berdoa dalam hati, semoga aku diterima di UGM.
Jika alasan bapakku menyuruhku meninggalkan Brawijaya adalah karena aku kurang disiplin dan jarak kampus sangat jauh dari rumah dan itu menyulitkan orang tuaku untuk mengontrolku, setidaknya, jika aku diterima di UGM alasan itu bisa dipatahkan.
Tapi bagaimana kalau alasan bapakku adalah karena aku diterima di jurusan Sastra Jepang? Karena seperti yang aku ketahui, bapakku sangat terobsesi menjadikanku seorang guru. Alasannya? Karena dia adalah guru, simpel! Klise!
Ujian sekolah terakhir : ujian bahasa Jepang. Bukannya sombong (dan aku harap aku benar), tapi aku rasa soal-soal ujian kali ini cukup mudah. Ah, bagaimana caranya, seseorang bisa menikmati mengerjakan soal yang ditulis dengan bahasa dan aksara asing seperti aku menikmati mengerjakan soal ini? (Jika aku tidak punya harapan untuk mempelajari sastra Jepang, kurasa ini kesempatanku untuk membuat pengakuan. AKU BENAR-BENAR CINTA BAHASA JEPANG)
Aku pulang masih tanpa harapan hidup. Aku tahu sebentar lagi bapakku akan mengatakan hal yang kejam padaku. Dan aku tidak punya pilihan selain mendengarkannya.
Dan akhirnya dia benar-benar mengatakan hal itu…
“Kapan pengumuman hasil seleksi UGM?” tanyanya dengan nada bicara yang – entah bagaimana caranya – terdengar sangat menyebalkan.
“Dua hari lagi.”
“Dan kamu memilih jurusan apa?”
“Sastra Jepang, tentu saja” jawabku mulai agak panik. Tapi dia hanya diam, tidak langsung menjawab. Aku menatap wajah tuanya, mencoba mencari tahu apa yang sedang dipikirkannya. Tapi sebelum aku berhasil menebak jalan pikirannya, dia sudah membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu. Aku tahu, ini puncaknya. Tanpa kusadari, aku menahan napasku.
“Aku harap kamu tidak diterima.”
. . .
Satu kalimat. Hanya satu kalimat. Tapi aku bisa merasakan air mataku menggenang dan menetes perlahan mendengarnya.
“Kenapa?” tanyaku lirih, menahan agar tangisku tidak pecah.
“Selama kamu kuliah memakai uangku, tentu saja aku berhak menentukan di universitas mana dan di jurusan apa kamu harus kuliah. Selama uang yang kamu pakai itu uangku, itu berarti 50% kuliahmu adalah pengorbanan untukku.”
Aku nyaris tersedak karena tangisku sendiri mendengar jawabannya.
“Jadi begitu cara pikir Bapak? Dengan uang yang Bapak miliki, Bapak membeli kehidupan saya? Dengan dana kuliah yang Bapak berikan, Bapak menentukan masa depan saya? Semua orang, sejak dia dilahirkan telah disertai dengan sebuah hak yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun, hak asasi yang diberikan oleh Tuhan. Diantaranya tentu saja hak untuk menentukan jalan hidupnya. Aku tahu orang tua punya hak juga untuk memberi pengarahan, tapi itu bukan berarti orang tua bisa memaksa anak untuk menjadi seperti yang orang tua inginkan…
Kenapa Bapak sangat ingin menjadikan saya sesuatu yang Bapak inginkan? Apakah karena Bapak ingin menjadikan saya sebagai sarana untuk memenuhi cita-cita pribadi Bapak yang belum tercapai? Bapak kan, punya kehidupan sendiri?! Bapak sudah menjalani kehidupan Bapak sendiri, Bapak sudah mengatur hidup Bapak sendiri sehingga Bapak menjadi seperti ini. Jadi saya rasa, sekarang giliran saya.”
* * *
Hari ini, Tujuh belas April Dua ribu sepuluh.
Seharusnya saat ini aku sudah tahu hasil seleksi ujian masuk UGM. Tapi disinilah aku, duduk berdua dengan Onii-san, di sebuah café masakan Jepang baru di dekat sekolahku.
“Lalu gimana hasil ujianmu di UGM?” tanya Onii-san sambil meminum teh hijaunya.
“Mana aku tahu,” jawabku sambil memainkan sepasang sumpit di tangan kananku di atas sepiring sushi. Jawabanku membuat Onii-san berhenti makan dan menatapku.
“Kamu kenapa, sih? Mukamu pucat dan nggak bersemangat? Jangan-jangan kamu nyesel ntraktir aku?” tanyanya bercanda.
“Enggak, lah!” sangkalku sambil tersenyum datar. “Aku cuma lagi mikirin masa depanku – yang seharusnya sangat cerah – tapi sepertinya akan jadi sangat suram.”
“Ini… ada hubungannya sama orang tuamu, ya?”
Aku mengangkat wajahku dari piring sushi dan menatapnya. Alih-alih menjawab pertanyaan retorisnya, aku bertanya, “gimana kalau Onii-san bertemu seorang cewek, lalu jatuh cinta padanya? That’s the perfect moment, cewek itu adalah soulmatemu dan Onii-san punya kesempatan untuk mendapatkan cewek itu. Situasinya tidak memaksa Onii-san untuk berpikir terlalu rumit tentang cewek itu. Nggak ada masalah perbedaan kultur dan latar belakang status sosial. Pokoknya Onii-san sangat bisa mendapatkannya. Tapi hanya ada satu penghalang, yaitu orang tua Onii-san tidak begitu menyukainya, dan mereka berencana menjodohkanmu dengan cewek lain. Apakah Onii-san akan melepaskan cewek itu gitu aja?
Tapi, bisa jadi situasinya agak rumit…” Lanjutku, “gimana kalau orang tua Onii-san terus terang mengatakan bahwa mereka nggak suka cewek itu dan nggak akan pernah menyetujui hubungan kalian? Dan bahkan mereka sudah menjodohkanmu dengan cewek lain. Dan sebagai seorang anak, Onii-san nggak berani membantah. Lalu terpaksa, kamu setuju menikahi cewek pilihan orang tuamu…”
“Hei..hei… terus terang saja, apa yang lagi kamu omongin, sih?” potong Onii-san karena merasa perkataanku rancu. Tapi aku tidak peduli, dan meneruskan,
“Katakan, apakah kamu nggak akan sedikitpun mencoba menoleh ke belakang hanya untuk melihat cewek yang kamu cintai masih berdiri disana, menunggumu? Atau bahkan, kamu akan berusaha mendekatinya lagi dan menikahinya, lalu meninggalkan istri yang nggak kamu cintai menderita sendirian…”
“Ooooke… meskipun omonganmu agak mengerikan, tapi akan coba kujawab.”
Onii-san terlihat berpikir sebentar. Lalu membuang nafas dan berbicara, “kalau aku ada di posisi seperti itu, aku yakin reaksiku akan persis sama seperti skenariomu. Aku pasti akan meninggalkan ‘istri yang nggak kucintai’ untuk cewek yang aku yakin dia adalah soulmate-ku.”
Aku menatap Onii-san sejenak, lalu tersenyum kecut.
“Kamu bilang omonganku mengerikan, ya? Kuberitahu kamu apa yang mengerikan; otoritas orang tua yang menginginkan kamu menjadi sesuatu yang bukan dirimu.”
Aku kembali memandangnya. Wajahnya terlihat sedih dan prihatin. Aku yakin dia mengerti arah pembicaraanku. Tiba-tiba dia mengeluarkan dompetnya dan meninggalkan sejumlah uang di meja, lalu menarikku keluar dari café itu menuju sebuah warnet.
* * *
Dua tahun kemudian......
Aku tersudut di dalam ruangan penuh dengan mesin jahit. Ruangan yang sangat kubenci, melebihi ruang cetak foto ayahku. Terjebak di tengah-tengah puluhan mesin yang berdengung dengan sangat menyebalkan, membuatku sakit kepala dan terus-terusan mencaci takdir. Dua tahun yang lalu, saat aku diseret oleh Onii-san ke sebuah warnet, adalah saat aku memutuskan untuk menyerahkan diri untuk dijebloskan ke penjara ini. Dua tahun lalu itu, aku membuka pengumuman penerimaan maba di UGM dan ak gagal. Dan kegagalanku itulah yang membuat ayahku semakin mudah mengirimku untuk membusuk di ruangan ini.
Aku sudah menjalani dua per tiga "masa hukumanku", dan aku masih belum bisa mengikhlaskannya. Aku masih melaluinya dengan mengutuk semua hal. Aku masih memukul mesin jahitku ketika dia mulai ngadat, aku masih melemparkan semua alat jahitku ke dinding, aku masih suka menyayat tanganku dengan jarum jahit, dan pada akhirnya aku masih menangisi dua tahun yang aku lalui.
Bagian yang menyiksa adalah, ketika aku bertemu dengan teman sekelasku di jurusan Bahasa yang sekarang kuliah di sastra jepang UGM. Ada rasa minder dan sedikit tidak rela waktu aku harus ngobrol dengannya. Bagian yang lebih menyiksa adalah, waktu aku menyadari bahwa semakin lama aku semakin lupa dengan sedikit bahasa Jepang yang pernah kupelajari. Sementara bagian yang paling menyiksa....adalah setiap kali aku merenungi tentang AKAN JADI APA AKU NANTINYA......
Nggak salah kan kalau aku bilang otoritas orang tua itu mengerikan?! Bayangkan saja, restu orang tua adalah restu Tuhan. Hanya karena orang tua berpikiran sempit, Tuhan pun (mungkin mau tak mau) harus menjauhkanku dari satu-satunya cita-cita yang tersisa di kepalaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar