Bagi seorang anak, memiliki bakat itu rasanya luar biasa. Rasanya seperti menjadi kaya mendadak dan memiliki istana super megah dengan dinding berlapis emas yang didalamnya terdapat brankas-brankas besi yang isinya bukan emas atau uang, melainkan gunungan permen dan coklat, dan istana itu memiliki garasi seluas lapangan parkir tempat menyimpan selusin mobil mewah yang tak mungkin terbeli oleh gaji orang tua mereka. Dan kekayaan itu tidak akan habis. Ya, memang sehebat itu rasanya. Itulah sebabnya, kenapa orang tua wajib menggali dan mengembangkan bakat anak-anak mereka.
Tapi masalahnya, kebanyakan orang tua terlalu tidak peduli pada bakat apa yang dimiliki anak. Mereka terlalu sibuk, bahkan untuk sekedar tahu hal apa yang disukai dan diinginkan anak. Jika anak tidak bercerita, orang tua juga tidak bertanya. Kalau pun tidak sibuk, mereka tidak membiarkan anak menemukan sendiri bakat mereka. Orang tua mendikte anak untuk melakukan hal-hal yang tidak dikuasai anak, hanya karena anak teman mereka juga melakukannya, atau karena kegiatan itu sedang populer, atau lebih parah; karena orang tua menginginkannya. Mereka memaksa anak untuk menjadi ‘anak idaman’ dan tidak membiarkan anak menjadi diri mereka sendiri. Dan ketika si anak mulai lelah menjadi ‘boneka idaman’ orang tuanya, mereka dicap sebagai pemberontak.
Sungguh disayangkan. Padahal, jika potensi anak dikembangkan sesuai kemampuan dan kemauan mereka, anak akan menjadi seperti bintang yang berkilau di langit yang kelam. Cahayanya mampu mendatangkan harapan bagi orang-orang di sekitarnya. Seperti, katakanlah, seorang anak yang sudah memainkan piano sejak belajar mengatakan ‘mama’. Alunan pianonya yang dari hati, akan mendatangkan efek yang berbeda dibandingkan permainan piano orang dewasa yang melakukannya karena dulu disuruh orang tuanya. Atau, seorang balita yang sudah lebih pandai menari dari pada berjalan, yang akhirnya menjadi seorang balerina prima karena panggilan jiwa, bukan karena obsesi orang tuanya.
Tapi itu masih lebih baik, dari pada anak yang tidak mengetahui bakatnya sama sekali. Entah karena orang tuanya yang salah mengarahkan, atau justru ketidakpedulian orang tua untuk menemukan bakat si anak. Sehingga anak tumbuh bagai kacang tanah yang tidak ada isinya. Secara hiperbolis, bisa dikatakan bahwa anak yang tidak mengetahui bakatnya, seperti orang yang tidak percaya adanya Tuhan; mereka tidak punya pegangan.
Contoh nyatanya, ada seseorang yang sudah didukung orang tuanya untuk belajar sulap sejak dia kecil, sehingga dia tumbuh dengan membawa kecintaannya pada sulap, dan dia mengahadapi berbagai peristiwa dalam hidup bersama kemampuannya memainkan trik-trik sulap. Ketika beranjak dewasa, dia memilih kuliah di jurusan ekonomi, karena dia berpikir bahwa menjadi pengusaha akan membuatnya cepat kaya. Tapi setelah dia lulus kuliah, dia tidak bisa segera mendapat pekerjaan. Sementara uang yang dimiliki keluarganya hampir habis untuk membiayai kuliahnya yang mahal. Semua barang berharga yang dimiliki dijual untuk bertahan hidup, sehingga satu-satunya hal berharga yang masih dia miliki adalah bakatnya bermain sulap. Jadi, dia masih bisa menghibur diri dan keluarganya dengan permainan sulapnya. Dan ketika akhirnya dia mendapat pekerjaan, itu hanya menjadi pegawai bank swasta yang hasilnya sama sekali tidak setimpal dengan biaya hidupnya. Akhirnya dia menyerah mencari pekerjaan, dan memilih menjadi pesulap profesional. Dia menjuarai berbagai kompetisi, dan pada waktu yang tepat, dia dinobatkan sebagai magician master di Indonesia.
Nah, contoh nyata itu memperkuat alasan kenapa orang tua wajib menggali dan mengembangkan potensi anak. Agar anak punya sesuatu yang bisa diandalkan, selain ijazah SMA atau almamater kampus terkenal. Kecuali kalau orang tua yakin mampu memberikan istana megah dengan dinding berlapis emas dan gunungan permen coklat beserta mobil-mobil mewah untuk bekal hidup anaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar