15.11.10
Pening oleh segala peraturan basa-basi tak penting yang membatasi kreasi. Sudah hampir 9 pekan tenggelam dalam bahasan super membosankan dalam perkumpulan 30 orang yang tak kalah membosankan. Sekali dua kali membuat gaduh, gebrakan untuk memecah keheningan brengsek yang sudah 57 hari menyekap kebebasan imajinasiku.
Tak pernah cukup dengan menjadi yang terpandai dalam hitung-menghitung dan bahasa asing.
Tak cukup juga kelelahan berkutat di depan mesin, meniti jejak mikroskopik yang membuat mata menjadi juling
..............
Intermezo kacau, merecoki otang yang sakaw
Perasaan muak terhadap tekanan yang tak manusiawi seperti tai anjing
Sedikit pertimbangan saja, beberapa detik saat akal sehatku sedang berfungsi. . .
"Bagaimana mengakhiri keputusasaan tanpa harus mengakhiri nyawa?
Bagaimana melalui 1080 hari paling berat sekaligus paling membosankan, tanpa harus kehilangan prioritas untuk menulis?"
Lalu aku teringat seseorang yang ingin aku menuliskan jurnal masa kritis setelah dia divonis, sebuah cobaan yang tak beda jauh dengan hukuman. Tiga tahun tahanan yang baru sempat berjalan 1/36 nya.
~
Dia merasakan 'rasa' yang mengelupas lepas
Dia merelakan pudarnya identitas
Dia memaki takdir yang tidak pernah impas
Dia menggerutu menuding mencerca dan tetap tak merasa puas
Dia menyesali penyesalan yang mengendap lalu timbul bertingkat-tingkat
Dia tak berkutik ketika berhadapan dengan keputusan sang takdir
Alibinya terhempas keras ke dasar hatinya
Dia tersentak ketika kekalahan menamparnya dari awang-awang
Dia ditarik oleh sebersit perasaan yang dipanggil 'pesimis', untuk diajak tinggal di bagian tergelap dari pikirannya,
mengubahnya menjadi prasangka yang mengendap-endap membunuh sugesti positif bernama 'optimis'
Baik dia maupun aku, sama-sama berjuang dalam peperangan yang entah sampai kapan
Dia maupun aku, sama-sama ingin menyuarakan suara hati yang telah bertahun-tahun dibungkam dalam sebuah filosofi mengenai tuntutan ilmu dan tuntutan pekerjaan, bahwa menuntut ilmu adalah untuk menuntut pekerjaan.
(Tapi dia maupun aku, sama-sama beranggapan bahwa menuntut ilmu adalah sebuah pekerjaan yang begitu menuntut!)
Filosofi yang sama-sama mengantarkan dia dan aku kepada 57 hari membosankan bertemu 30 orang yang tak kalah membosankan di sebuah kelas yang ultra membosankan
...........
Aku begitu mengenalnya, mengerti dia seperti belahan jiwa.
Karena dia adalah aku
dia adalah aku yang mengkalkulasi angka-angka membosankan sekedar untuk mengalihkan pikiran dari tuntutan ilmu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar